Perangkat Desa
3. Perangkat Desa
Perangkat Desa adalah salah satu organ
pemerintah desa, selain Kepala Desa. Sesuai rumusan Pasal 1 angka 3 UU Desa,
kedudukan Perangkat Desa adalah ‘pembantu’ bagi Kepala Desa dalam menjalankan
fungsi pemerintahan. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan
‘pembantu’ juga dilekatkan kepada Wakil Presiden dan menteri-menteri.
Perangkat Desa diatur dalam Pasal 48-53 UU Desa.
Secara ringkas, pasal-pasal ini mengatur tentang kedudukan dan tugas Perangkat
Desa; pengangkatan dan pemberhentian; penghasilan; serta larangan-larangan
dalam menjalankan tugas. Aspek-aspek tersebut disajikan dalam penuturan
pasal-pasal, rincian rumusan dan penjelasannya sebagai berikut:
a. Kedudukan dan Tugas
Jenis, kedudukan, dan tugas
Perangkat Desa disebut dalam Pasal 48 dan 49 berikut.
Pasal 48
|
Perangkat Desa terdiri atas:
a. Sekretaris
desa
b. Pelaksana
kewilayahan, dan
c. Pelaksana
teknis
|
Penjelasan
|
Cukup jelas
|
Pasal 49
|
(1) Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya;
(2) Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan
dengan camat atas nama Bupati/Walikota;
(3) Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada Kepala Desa.
|
Penjelasan
|
Ayat (1) dan ayat (3) cukup jelas.
Ayat (2), Yang dimaksud dengan ‘camat’
adalah camat atau yang disebut dengan nama lain.
|
b. Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 49 telah menyebutkan bahwa Perangkat Desa
diangkat oleh Kepala Desa. Dalam proses pengangkatan itu, Kepala Desa harus
mempertimbangkan syarat-syarat yang sudah ditentukan UU Desa. Kepala Desa juga
harus berkonsultasi dengan camat sebelum membuat keputusan pengangkatan.
Rumusan mengenai persyaratan Perangkat Desa diatur dalam Pasal 50, sedangkan
pemberhentiannya diatur dalam Pasal 53.
Pasal 50
|
(1)
Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga desa
yang memenuhi persyaratan:
a.
Berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
b. Berusia
20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
c.
Terdaftar sebagai penduduk desa dan bertempat tinggal di desa paling kurang 1
(satu) tahun sebelu pendaftaran; dan
d. Syarat
lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam
pasal 48, pasal 49, Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan
|
Cukup jelas
|
Pasal 53
|
(1) Perangkat
Desa berhenti karena:
a. Meninggal dunia;
b. Permintaan sendiri; atau
c. Diberhentikan
(2) Perangkat Desa yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud pasa ayat (1) huruf c karena:
a. Usia telah genap 60 (enam
puluh) tahun;
b. Berhalangan tetap;
c. Tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Perangkat Desa; atau
d. Melanggar larangan sebagai
Perangkat Desa
(3)
Pemberhentian Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan camat atas nama
Bupati/Walikota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan
|
Cukup jelas
|
c. Larangan
Sesuai amanat Pasal 53 ayat (2) huruf d UU Desa,
melanggar larangan bisa menjadi dasar untuk memberhentikan Perangkat Desa.
Adapun larangan-larangan terhadap Perangkat Desa dirinci dalam Pasal 51 dan
Pasal 52 berikut.
Pasal 51
|
|
Perangkat Desa dilarang:
a. Merugikan
kepentingan umum;
b. Membuat keputusan
yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau
golongan tertentu;
c.
Menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. Melakukan tindakan
diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e. Melakukan
tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa;
f.
Melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau
jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
g. Menjadi
pengurus partai politik;
h. Menjadi anggota
dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i.
Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan;
j.
Ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan
kepala daerah;
k. Melanggar
sumpah/janji jabatan; dan
l.
Meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa
alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
|
|
Penjelasan
|
|
Cukup jelas
|
|
Pasal 52
|
|
(1) Perangkat Desa yang melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa
teguran lisan dan/atau teguran tertulis;
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian
sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
|
|
Penjelasan
|
|
Cukup jelas
|
d. Penghasilan Perangkat Desa
Rumusan penghasilan perangkat desa disatukan
dengan aturan penghasilan Kepala Desa, sebagaimana dimuat dalam Bagian
Kedelapan Bab V, yakni Pasal 66. Rumusannya adalah sebagai berikut:
Pasal 66
|
(1) Kepala Desa dan
perangkat desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
(2) Penghasilan tetap Kepala
Desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari
dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima
oleh kabupaten/kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Selain penghasilan tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat desa menerima
tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat desa memperoleh
jaminan kesehatan dan memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang
sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan
|
Ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) cukup
jelas.
Ayat (4): Jaminan kesehatan yang
diberikan kepala Kepala Desa dan perangkat desa diintegrasikan dengan jaminan
pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sebelum program Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menjangkau ke tingkat desa, jaminan kesehatan dapat dilakukan
melalui kerjasama kabupaten/kota dengan Badan Usaha Milik Negara atau dengan
memberikan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
|
Pasal ini berhubungan
dengan hak Kepala Desa yang diatur dalam Pasal 26 ayat (3) huruf c UU Desa yang
berbunyi: ”Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala
Desa berhak …c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan
penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan”.
Tetapi rumusan yang sama tidak ditemukan pada pasal-pasal yang mengatur
perangkat desa (Pasal 48-53).
Pembahasan di DPR
Istilah perangkat desa sudah dikenal dalam
perundang-undangan mengenai desa sebelum lahirnya UU Desa. Yang berbeda adalah
rinciannya. UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, misalnya, hanya
memasukkan sekretaris desa dan kepala-kepala dusun sebagai perangkat desa.
Sedangkan dalam UU Desa dikenal sekretaris desa, pelaksana teknis, dan
pelaksana kewilayahan.
Dalam Naskah Akademik RUU Desa yang disampaikan
pemerintah disebutkan bahwa:
“Pemerintahan
desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang sederhana. Para birokrat desa
(sekretaris desa hingga kepala-kepala urusan) disebut sebagai Perangkat Desa
yang bertugas membantu Kepala Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan, termasuk pelayanan administrasi di dalamnya”.
Keberadaan perangkat desa menjadi salah satu isu
penting pemerintahan desa yang dirumuskan dalam Naskah Akademik, dan
menggambarkan lebih lanjut prinsip-prinsip pengangkatan mereka. Disebutkan bahwa:
“Kepala
Desa dibantu oleh unsur pemerintahan desa yang meliputi sekretaris desa dan
perangkat desa. Struktur organisasi pemerintah desa ditetapkan melalui
Peraturan Desa dengan memperhatikan model dan kewenangan desa. UU ini mengatur
mengenai perangkat desa (sekretaris desa dan perangkat desa lainnya), baik
dalam sistem rekrutmen, pemberian tunjangan, penghargaan. Rekrutmen sekretaris
desa dan perangkat desa didasarkan pinsip-prinsip profesionalitas, transparan,
dan akuntabel”.
·
Perangkat Desa dari PNS
Perdebatan paling krusial mengenai perangkat
desa berkaitan dengan status Sekretaris Desa sebagai PNS atau bukan. Fraksi PKB
dalam DIM tetap mengusulkan agar perangkat desa diisi dari PNS ditambah syarat
pendidikan SLTA, mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan, dan
memahami sosial budaya masyarakat setempat. Fraksi PPP dan Fraksi PDIP juga
setuju dalam DIM. Dalam rapat 4 April 2012, juru bicara Fraksi PKB H. Bahrudin
Nasori menyampaikan keinginan partainya memperjuangkan status Perangkat Desa menjadi
PNS.
“F-PKB mengusulkan agar desa mendapat
alokasi APBN 11-10%. Nah ini sudah menjadi usulan kawan-kawan juga, dan juga
usulan Kepala Desa-Kepala Desa yang datang ke Pak Mendagri dan demo-demo di
depan DPR, Pak. Dan juga perangkat desa yang menjadi penekanan F-PKB agar
menjadi PNS, Pak. Karena Sekdes yang sudah diangkat selama 2 tahun ini menjadi
sumber iri bagi para perangkat desa. Untuk itu harga mati buat F-PKB agar
perangkat desa ini supaya diusulkan menjadi PNS.”
Suara senada datang dari utusan Partai Demokrat.
Mewakili partai ini, Nanang Samodra mengatakan:
“…F-PD akan memperhatikan berbagai
aspirasi yang masuk, antara lain: keinginan desa untuk mempunyai anggaran
tersendiri yang bersumber dari APBN, pengangkatan perangkat desa menjadi PNS,
masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun dan Kepala Desa ingin duduk sebagai
pengurus partai politik.”
Namun DPD mengingatkan resiko jika pemerintah
hanya mengangkat Sekretaris Desa sebagai PNS, sedangkan perangkat desa lainnya
tidak. Anang Prihantono dalam rapat 4 April 2012 menyatakan:
“Dalam hal perangkat desa, pengisian
sekdes dengan PNS menjadi isu yang sangat kontroversial. Kebijakan
birokratisasi desa yang dimulai sejak UU No. 32/2004 ini menimbulkan gelombang
protes dari Persatuan Perangkat Desa seluruh Indonesia (PPDI), sehingga mereka
sekarang juga menuntut untuk diangkat menjadi PNS. DPD berpandangan bahwa
birokratisasi desa semacam itu kontra produktif dengan otonomi lokal, tetapi
kebijakan pemerintah tentang pengangkatan sekdes menjadi PNS atau pengisian
sekdes dengan PNS merupakan kebijakan diskriminatif yang menimbulkan gejolak di
desa khususnya kesenjangan antara sekdes dan perangkat desa lainnya, sehingga
mengurangi efektivitas penyelenggaraaan pemerintahan dan pembangunan desa.
Karena itu, DPD berpendapat, jika pemerintah mengangkat sekdes menjadi PNS atau
mengisi sekdes dengan PNS, maka bertitik tolak dan konsisten dengan pilihan
tersebut, maka semua perangkat desa seharusnya menjadi PNS, sesuai dengan
aspirasi PPDI.”
Pada raker tanggal 15 Mei 2012, Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menjawab pandangan sejumlah fraksi mengenai
status Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya sebagai PNS. Khusus mengenai
status PNS Sekretaris Desa, Mendagri menyampaikan beberapa poin, yaitu:
·
Sekretaris Desa sebagai
orang kedua di desa mempunyai peran penting karena desa di samping merupakan
jajaran pemerintah terdepan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat juga
memiliki ruang lingkup tugas yang cukup berat yaitu mencakup urusan berdasarkan
asal usul dan adat istiadat, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang dilimpahkan kepada desa, dan urusan pemerintahan lainnya
yang oleh peraturan perundang-undangan lainnya dilimpahkan ke desa. Oleh karena
itu diperlukan seorang Sekretaris Desa dari PNS yang siap dan mampu
melaksanakan tugas yang berat tadi.
·
Dalam penguatan kapasitas
desa di berbagai kabupaten/kota sedang dan telah berlangsung pemberian Alokasi
Dana Desa yang bersumber dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diterima oleh kabupaten/kota. Alokasi Dana Desa tersebut harus dikelola melalui
sistem perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan
dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti sekretaris desa dari PNS yang
mampu mengelola keuangan desa yang baik dan benar.
·
Dalam upaya menata
administrasi desa secara efektif dan profesional dalam melayani masyarakat,
melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat diperlukan Sekdes dari PNS
yang siap dan mampu secara profesional melaksanakan pekerjaan yang berkaitan
dengan penyusunan administrasi desa, pengelolaan keuangan desa, penyusunan
perencanaan desa dan penyusunan pelaporan penyelenggaraan pemerintahan desa.
·
Dalam era reformasi, jabatan
Kepala Desa dan perangkat desa merupakan jabatan publik yang keberadaannya
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan masyarakat yang kadang-kadang dapat
terpengaruh oleh situasi dan kondisi serta tarik menarik antarkepentingan yang
dapat menimbulkan instabilitas atau kendala bagi kesinambungan proses pelayanan
administrasi desa. Sekdes dari PNS menjadi penyelaras atau penyeimbang yang
mampu menjaga netralitas.
Sedangkan mengenai status PNS perangkat desa
lainnya, Mendagri menjelaskan lebih lanjut:
“Dalam hal perangkat desa diusulkan
menjadi Pegawai Negeri Sipil dapat dijelaskan :
·
Bahwa pengangkatan perangkat desa menjadi
Pegawai Negeri Sipil adalah suatu proses politik yang hanya bisa dilakukan
dengan pembentukan Undang-undang yang memerlukan pengkajian dan pendalaman yang
lebih komprehensif untuk sampai pada keputusan penyelesaiannya.
·
Dari sisi anggaran memerlukan biaya yang
cukup besar setiap tahunnya untuk pengangkatan perangkat desa. Setiap tahun
pembiayaan akan bertambah 5-10% disebabkan adanya pertambahan jumlah desa,
kenaikan gaji, askes dan gaji pensiun (memberatkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), sebagaimana kami
jelaskan pada saat menjawab pandangan Fraksi PKB.”
Merespon pandangan pemerintah itu, anggota DPD
asal Bali, I Wayan Sudirta, menjelaskan:
“Saya sebenarnya berharap ada konsistensi,
dan untuk menjadi renungan Saudara Menteri Dalam Negeri. Semula sebelumnya
memang ada reaksi keras, mengapa Sekdes itu mesti di PNS-kan, apa tidak cukup
tokoh-tokoh lokal yang mengisi itu? Karena belakangan, isu ini muncul lagi.
Tapi baiklah, ini sudah terjadi. Kalau dia terjadi dengan alasan begitu banyak
dana dikelola, urusan banyak dikelola, kami hanya minta konsistensi saja. Kalau
Sekdes itu masuk perangkat desa, Kaur juga masuk perangkat desa, mengapa mereka
tidak disamakan dan mengapa mereka harus dibedakan? Dari asas manapun kita
tidak menemukan, kalau perangkat desa itu dipilih-pilih, dipilah-pilah. Yang
satu di PNS-kan, yang satu dibiarkan.
Saudara Menteri tadi mencoba menyampaikan
data 69.000. Baiklah, kita bulatkan saja 70.000 desa yang ada. Kalau misalnya
dikatakan ada 10 perangkat desa, baik kita bulatkan saja gaji mereka Rp 20 juta
per desa, itu baru Rp 1,4 triliun, kalau kita bulatkan ke atas. Mudah-mudahan
kami keliru. Dari APBN kita yang Rp 1400 triliun. Saya setuju pendapat rekan
saya dari F.PD tadi, demikian kuat mengangkat posisi desa. Dan kalau kita
berterima kasih kepada mereka, saya ingin mengajak teman-teman F.PD untuk
mengingat ini, posisi desa, agar Rp 1,4 triliun tidaklah terlalu besar menurut
ukuran kita.”
Status PNS Sekretaris Desa bukan hanya memantik
perbedaan pandangan pemerintah dengan anggota DPR/DPD, tetapi juga mendorong
sejumlah undangan RDPU menyinggung masalah tersebut. Dalam RDPU 24 Mei 2012,
sejumlah undangan mendukung gagasan Sekdes diangkat jadi PNS. Pertimbangannya
antara lain demi perbaikan kinerja, sudah banyak sekdes yang berstatus PNS
sebagai konsekuensi UU No. 32 Tahun 2004, hanya PNS yang bisa ‘memegang’ keuangan
negara, dan ketersediaan anggaran negara untuk menggaji mereka. Ubaidi Rosidi
dari Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) menyampaikan pandangan berikut:
“Kemudian kita sepakati, dalam satu
pembentukan Rancangan Undang-undang ini, apa yang telah disampaikan oleh Pak
Sudir, kewajiban tetap, kewenangan tetap, bayaranpun harus tetap ada. Baik
mengenai perangkat desa, Kepala Desa, maupun sekretaris desa yang bekerja pada
Pemerintahan Desa. Yang kemudian mengapa perangkat desa mengusulkan perangkat
desa untuk menjadi PNS? Karena menampung aspirasinya Pak Sudir, ketika anggaran
APBN masuk, perangkat desa PNS, sudah bisa melaksanakan tugas-tugasnya. Karena
kita melihat bahwa proposisi hukum yang ada, di saat kita melihat Kepres No. 80
yang sekarang direvisi menjadi No. 54, PP No. 28, 29, yang kemudian
Undang-undang No. 6, 7, itu semuanya mendelegasikan bahwa yang dapat mengelola
uang Negara menjadi pengguna anggaran dan lain sebagainya adalah pegawai negeri
sipil, TNI/Polri. Nah apabila perangkat desanya sendiri masih statusnya “dan
lain-lain” itu bukan swasta dan bukan negeri, maka kapasitas untuk menyentuh
pada tataran itu adalah sangat susah.”
Namun dalam RDPU 31 Mei 2012 muncul pandangan
lain dari Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Indra
Catri, Bupati Agam, menyampaikan pandangan APKASI tersebut, antara lain
menyatakan:
“Kemudian
masalah pegawai. Ini hampir sama dengan kawan saya sekretaris nagari sudah
terlanjur, silakanlah jadi pegawai negeri, tetapi kalau menjadikan pegawai
negeri semua perangkat desa, ini perlu pemikiran yang lebih cermat, yang lebih
dalam karena seperti contoh kalau 10 orang perangkat nagari, perangkat desa
dijadikan pegawai negeri itu celah fiskal ke saya jadi kecil sekali jadinya.
Guru saja, saya memang kabupaten, tetapi Kabupaten Agam penduduk saya hanya
sekitar 450 ribu jiwa dan itu dua kali penduduk, itu Padang hampir 1 juta,
tetapi jumlah sekolah lebih banyak di Kabupaten Agam daripada di Kota Padang.
Nah guru saya lebih banyak. Apa yang ingin saya sampaikan? Kalau diangkat
menjadi pegawai negeri perangkat desa ini, maka mereka juga mungkin minta
perlakuan yang sama, prospek karier yang sama, pensiun yang sama, hak yang
sama. Oke, baik itu akan menyerap dana, tetapi yang paling berbahaya kalau
mereka menjadikan peluang ini, menjadikan peluang ini untuk entry point, untuk
titik masuk menjadi pegawai negeri”.
Selain menyampaikan risiko dan dampak yang
timbul jika perangkat desa berasal dari PNS, proses pembahasan juga
mengungkapkan usulan tegas agar perangkat desa bukan PNS. Usul itu antara lain
datang dari Lastowijono (APMD Yogyakarta). Ia mengatakan:
“Kemudian yang berikutnya mengenai
perangkat desa. Nah ini maaf barangkali agak sensitif, tetapi memang ini harus
kami sampaikan bahwa kami mengusulkan perangkat desa itu non PNS termasuk
sekretaris desa ya. Jadi kami mengusulkan perangkat desa, sehingga tidak ada
lagi nanti sebutan perangkat desa lainnya. Sekarang itu ada sebutan perangkat
desa lainnya karena diantarai oleh yang namanya sekdes, sehingga nanti hanya
ada perangkat desa. Kami-kami mengusulkan itu. Apa alasannya? Sebetulnya desa
itu jangan sampai justru menjadi rezim administrasi kemudian justru ada terjadi
birokratisasi begitu ya, sehingga sebaiknya tidak ada perangkat desa yang PNS.
Kemudian bagaimana halnya dengan yang
selama ini mungkin kita harus-harus melihat kenapa banyak orang tertarik
kemudian perangkat desa itu menjadi PNS? Ini saya kira tidak bisa diingkari,
ini persoalan kepastian penghidupan. Untuk kepastian bagaimana memperoleh
penghargaan atau jerih payah atau gaji dan seterusnya. Oleh karena itu, kami
memberikan satu alternatif, kalau tidak ada PNS di desa lalu bagaimana? Ini
perlu ada skala penggajian saya kira begitu menggunakan standar PNS. Jadi
perangkat desa tidak harus PNS, tetapi bisa digaji dengan standar PNS. Lalu
siapa yang menggaji ditambah dengan tunjangan plus yang namanya asuransi bagi
keluarganya. Jadi perlakuannya sebetulnya hampir sama dengan PNS, hanya dia
tidak statusnya bukan PNS.
Dalam perdebatan kami di kampus, apa
mungkin Negara membayar yang bukan pegawai negeri? Kenapa tidak. KPU itu berapa
banyak orang itu digaji oleh pemerintah dan itu bukan PNS, itu adalah pegawai
sipil itu, bukan pegawai negeri, bukan pegawai Negara sipil itu. Lalu akhirnya
oh ini jalan keluar yang baik kalau kemudian agar apa di desa tidak lagi
terjadi tarik ulur dan sekarang inikan yang namanya sekretaris desa itu harus
ya berdiri dua posisi karena ada dualisme kepemimpinan dibenaknya yang namanya
sekdes satu adalah sekretaris desa, yang satu adalah Kepala Desa. Pada satu
saat itu rentan akan terjadi konflik”.
Dalam RDPU tanggal 13 Juni 2012 antara DPR
dengan para pakar yang hadir, DR. Hanif Nurcholis, Prof. DR. Sediono MP.
Tjondronegoro, Prof. DR. Robert Z. Lawang, DR. Dina Ardiyanti, MA, dan Prof.
DR. Tri Ratnawati, terdapat dua tema besar pembahasan tentang perangkat desa,
yaitu tentang penghasilan Perangkat Desa dan status Perangkat Desa. Pembahasan
terhadap peghasilan Perangkat Desa tidak banyak terjadi perbedaan pendapat,
namun tentang status Perangkat Desa yang diangkat menjadi PNS sempat terjadi
perbedaan pendapat. Salah satu statement yang muncul dalam pembahasan tersebut
muncul dari DR. Hanif Nurcholis:
“Pertanyaannya, jadi pertama adalah, desa,
setuju tidak, apakah perangkat desa itu selain Sekdes itu menjadi PNS? Nah ini
jawaban saya tinggal posisi desa itu diletakkan kemana? Kalau posisi desa
seperti pengaturan No. 5 Tahun 1979, Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan
Undang-undang No. 32 Tahun 2004, sebagai lembaga masyarakat yang dikontrol oleh
Negara, ini tidak relevan. Karena lembaga masyarakat. Sehingga Sekdes menjadi
PNS itu pun tidak relevan, itu lembaga masyarakat. Sehingga ya, maunya masyarakatlah,
itu….
….Kalau pendapat saya, itu relevan dan
saya dukung itu, yaitu dengan, tadi kan ada 3 model. Model pertama adalah desa
sebagai komunite yang dikontrol oleh Negara, itu sekarang, dan RUU seperti itu.
Pilihan kedua, ubah saja semua desa menjadi UPT kecamatan, dan saya tidak
setuju. Dan yang ketiga itu setuju, dan saya setuju kalau modelnya itu adalah
model yang saya jawab pada Pak…tadi,yaitu adalah recognisi terhadap komunitas,
tetapi masuk dalam sistem Negara. Setuju, 100% setuju. Karena itulah yang
sebenarnya menjadi tulang punggung, memberikan satu yang bisa menjadi agen.
Baik itu agen sosial, ekonomi dan pemerintahan. Tanpa ada suatu agen seperti
itu ya, maka itu menjadi sangat tergantung sekali kepada peningkatan kualitas
dan kompetensi komunitas tersebut. Itu menjadi satu rekayasa, satu instrument
yang menjadi tidak efektif, kalau menurut saya. Kalau dipertahankan sebagai
komunitas seperti itu. Jadi saya setuju dengan Bapak, kalau perangkat desa
selain Sekdes menjadi PNS, dengan posisi yaitu desa itu sebagai yang tadi saya
berikan contoh, yaitu sebagai commune yang sekarang itu masuk dalam sistem,
atau county di Inggris. Commune. Ya. Itu, seperti itu Pak. Akhirnya masuk ke
Negara, tapi basisnya komunitas. Nah itu yang saya setuju.”
Mantan Menteri Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid juga
menyampaikan pandangannya mengenai PNS ini dan hubungannya dengan tingkat
kesejahteraan perangkat desa, pada RDPU tanggal 27 Juni 2012. Di depan anggota
Pansus, Prof. Ryaas Rasyid mengatakan antara lain:
“…. Sebenarnya yang bermasalah di PNS itu
bukan hanya sekadar mem-PNS-kan sekretaris desa Pak. Semua pengangkatan honorer
PNS itu bertentangan dengan prinsip kompetensi begitu Pak. Bagaimana Indonesia
mau maju cara seleksi PNS-nya saja tidak ketat begitu Pak. Jadi saya lebih
cenderung ya memang PNS ini ditaruh di desa begitu Pak. Jadi bukan kita
mempertimbangkan nasibnya mereka begitu, tetapi bahwa desa itu diberi bantuan
secara kumulatif ya itu silakan dikelola dari situ mungkin perangkat desa bisa
dapat kesejahteraan, tetapi tidak harus jadikan pegawai negeri. Sekarang itu
Kepala Desa juga minta jadi pegawai negeri, sekretaris sudah jadi, perangkat
desa mau jadi pegawai negeri semua. Ya hilanglah makna desa dalam artian
cultural itu yang asli itu.
Jadi mensejahterakan aparat desa bukan
dengan menjadikan dia PNS, tetapi dialokasikan anggaran untuk pembinaan
pemerintahan yang mereka dari situ bisa hidup yang termasuk 8 juta hektar tanah
itu ya mungkin antara lain dialokasikan untuk kepentingan desa, jadi itu menjadi
tanah desa misalnya saja di situ mereka hidup seperti jaman dulu juga. Jaman
dulu desa itu sejahtera kok tidak pakai PNS. Kenapa jaman dulu bisa bagus,
sekarang tidak bisa begitu. Jadi menurut saya, kita harus hati-hati soal
menjadikan mereka sebagai PNS, nanti PNS semua. Nah kalau PNS semua
pemerintahan kita jenjangnya jadi sangat banyak Pak.”
Pada RDPU yang sama, Guru Besar FISIP UGM
Yogyakarta, Pratikno, mengingatkan bahwa penempatan PNS sebagai sekdes selama
ini justru merusak tatanan. Ia mengatakan antara lain:
“Sekdes
yang PNS itu kan sudah terbukti menimbulkan masalah yang serius begitu karena
kemudian merusak kultur yang ada di desa itu, meningkatkan birokratisasi
pemerintahan daerah yang basisnya adalah adat masyarakat, adat komunal begitu. Kalau
saya lebih cenderung, kalau ini dirasa penting untuk meningkatkan pendisiplinan
administrasi pemerintahan desa, saya lebih cenderung jangan diisi oleh PNS.
Nanti sekdesnya PNS itu sangat beresiko. Lebih baik kalau dipandang perlu
adalah staf kabupaten yang ditugaskan di tingkat desa, diperbantukan di tingkat
desa. Nah, itu tidak menimbulkan komplikasi iri antara Kepala Desa dengan
sekdes”.
Pada akhirnya, tak ada lagi syarat PNS bagi
Sekdes atau perangkat desa lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Fraksi
Demokrat mengklaim sebagai pihak yang ikut memperjuangkan agar pengangkatan
perangkat desa dilakukan Kepala Desa. Dalam pandangan mini fraksi yang
disampaikan pada Desember 2013, H. Darizal Basir dari Partai Demokrat
menyatakan:
“Ada banyak isu penting yang kami
perjuangkan dan akhirnya masuk ke dalam RUU dan berhasil disepakati. Isu-isu
itu adalah:
1….
2….
3…..
4….
- Mengembalikan jabatan Sekretaris Desa
yang tadinya diisi oleh PNS dikembalikan menjadi wewenang Kepala Desa”.
Argumentasi tentang komunalitas oleh Tri
Ratnawati, pakar yang dihadirkan dalam rapat 13 Juni 2012, bisa menjawab
mengapa Sekdes dan perangkat desa lainnya tak harus PNS. Menurutnya, justru
status PNS itulah yang ikut merusak tatanan pemerintahan desa berbasis komunal
selama ini. Ia mengatakan antara lain:
“Kemudian juga mengenai apakah aparat desa
itu PNS? Tidak. Saya pernah rebut betul waktu itu, waktu draft UU No. 32 Tahun
2004 sedang dibahas…Waktu itu saya sudah memperkirakan, ini pasti akan
menimbulkan jealous atau kecemburuan. Padahal waktu itu saya kecil…tinggal di
desa, carik itu tidak perlu kok yang namanya harus PNS. Nyatanya kerjanya
bagus. Apalagi sekarang sudah ada insentif dalam Undang-Undangnya. Menurut saya
justru Undang-Undang yang akan dibuat itu merevisi agar carik, sekdes, jangan
lagi PNS. Jadi, sama rata sama rasa. Namanya juga di desa..komunalisme itu
memang harus ada. Kan kita tahu bahwa face to face interrelation itu bagian
dari khas desa. Kalau semuanya dibirokratisasi dengan cara Jakarta, saya pikir
rusak semua itu desa. Jadi, kalau saya, lebih baik (aturan) dalam UU No. 32
Tahun 2004 yang mengatur bahwa sekretaris desa harus PNS yang dicabut…Saya pikr
jangan dibolak-balik logika kita. Justru pasal itulah yang merusak tatanan
pemda sekarang”.
·
Penghasilan Perangkat Desa
Berkaitan dengan penghasilan perangkat Desa (dan
Kepala Desa), pengusul RUU Desa melihat tugas-tugas berat yang akan mereka
pikul. Sebagai abdi negara, perangkat desa menyandang atribut dan simbol yang
diberikan negara sekaligus menjalankan tugas-tugas negara seperti memungut
pajak, mengurus administrasi, menyiapkan surat-surat resmi dan pendataan
penduduk. Mereka harus melayani kebutuhan penduduk 24 jam, tak hanya tata
naskah dinas, tetapi juga keamanan warga. Penyusun RUU Desa percaya bahwa
kinerja perangkat desa sangat ditentukan tingkat kesejahteraan mereka,
sebagaimana tergambar dalam Naskah Akademik:
“Kinerja organisasi dan perangkat desa
yang sangat terbatas juga berkaitan dengan keterbatasan kesejahteraan mereka
dan tidak jelasnya sistem penggajian (remunerasi) yang didesain pemerintah.
Meski di atas kertas sistem birokrasi desa dibuat modern, tetapi penggajian
perangkat masih menggunakan pola yang sangat tradisional. Selama ini belum ada
kebijakan yang memadai mengenai penggajian (remunerasi) terhadap Kepala Desa dan
perangkat desa. Di sebagian besar desa-desa di Jawa, perangkat memperoleh
penghasilan dari tanah bengkok (palungguh), sebagai bentuk remunerasi secara
tradisional yang diwariskan secara turun temurun”.
Selanjutnya disebutkan juga di dalam Naskah
Akademik, bahwa:
“Para perangkat desa tentu mempunyai
status terhormat bagi masyarakat, tetapi pada umumnya tingkat kesejahteraan
perangkat desa sangat memprihatinkan. Oleh karena itu perangkat desa selalu
menuntut dan berharap agar pemerintah betul-betul memperhatikan nasib dan
kesejahteraan mereka”.
Anggota Dewan juga menyambut antusias gagasan
memberikan penghasilan tetap perangkat desa (dan Kepala Desa). Apalagi dalam
rumusan DIM, penghasilan itu dihubung-hubungkan dengan Upah Minimum Regional
(UMR) kabupaten/kota. Fraksi Partai Demokrat, misalnya, mengusulkan agar gaji
Kepala Desa lebih tinggi dibandingkan perangkat desa demi memberikan
penghargaan lebih kepada Kepala Desa atas beban tugas dan tanggung jawab yang
diembannya. Demokrat mengusulkan gaji Kepala Desa 2 x UMR, sedangkan perangkat
desa minimal 1 x UMR.
Dalam salah satu rapat tanggal 4 April 2012,
juru bicara Fraksi PPP, Dr. AW. Thalib, menyampaikan argumentasi berikut:
“Terkait dengan penghasilan tetap Kepala
Desa dan perangkat desa, ditetapkan paling sedikit sama dengan Upah Minimum
Regional Kabupaten/kota, tetapi sekretaris desa penghasilannya ditetapkan
berdasarkan gaji PNS. Perbedaan dasar penetapan penghasilan ini berdampak pada
kurang harmonisnya hubungan Kepala Desa dan perangkat desa dengan sekretaris
desa. F-PPP berpendapat, perlu ada rumusan lain yang lebih tepat dengan tidak
menggunakan standar UMR.
Dalam upaya peningkatan kinerja dan
kenyamanan kerja penyelenggaraan Pemerintahan desa, sebaiknya Kepala Desa juga
dapat memperoleh tunjangan lainnya selain perolehan dari tanah bengkok serta
pemberian dana untuk purna bakti, dan diberikannya jaminan asuransi kesehatan
bagi perangkat desa dan Kepala Desa oleh Pemerintah.”
Fraksi PPP dan Fraksi PKB menyetujui agar
penghasilan tetap Kepala Desa 2 x UMR, tetapi untuk perangkat desa Fraksi PPP
mengusulkan paling sedikit sama dengan UMR. Fraksi Partai Demokrat bahkan
mengklaim sebagai salah satu pihak yang memperjuangkan agar Kepala Desa dan
perangkat desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulannya yang bersaumber
dari APBN, tunjangan dari APBDes, serta jaminan kesehatan.
Pandangan yang sama antara DPR dan Pemerintah
menjadi salah satu berita gembira bagi perangkat desa. Guru Besar Sosiologi
FISIP Universitas Indonesia, Robert Z. Lawang menyampaikan apresiasi dan
pandangannya mengenai penghasilan perangkat desa dalam rapat kerja tanggal 13
Juni 2012. Dengan menggunakan istilah gaji, Prof. Robert Z Lawang menyatakan
pemberian gaji itu bukan saja menggembirakan tetapi juga kemajuan.
“Yang mungkin menggembirakan aparat desa
adalah Pasal 37 (RUU) yang menyebutkan dengan jelas pada butir 1 bahwa Kepala
Desa dan perangkat desa diberikan penghasilan tetap setiap bulannya dan
tunjangan, yang dalam butir 4 bersumber dari APBD Desa. Pada butir 2 dari pasal
yang sama menyebutkan penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat desa
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit sama dengan UMR
kabupaten/kota…..Mungkin ini kemajuan. Pasal ini akan menjadi perhatian pada
kades di seluruh Indonesia dan mengharapkan akan terlaksananya janji RUU…Pasal
ini memberikan harapan sedikit untuk mendorong desa mempertahankan
eksistensinya”.
Prof. Robert Z. Lawang juga menyinggung
pentingnya membuat gaji Kepala Desa lebih tinggi dari perangkat desa. Ia
mengatakan:
“Gaji
kades lebih tinggi dari gaji sekdes yang disebutkan dalam Pasal 35. Gaji kades
yang lebih rendah dapat merusak wibawa kades di kalangan aparat pemdes sendiri,
dan di mata masyarakat desa. Dan perpecahan ini dimulai oleh negara… Harus ada
jaminan bahwa PP yang akan disusun itu menyebutkan secara eksplisit bahwa gaji
kades lebih tinggi dari gaji sekdes. Pengalaman menunjukkan bahwa produk hukum
yang disusun di Indonesia seringkali tidak sinkron”.
Pada rapat yang sama, anggota DPR dari Fraksi
PKS, Abdul Azis Suseno, menambahkan pandangan bahwa:
“Sebenarnya intinya para perangkat desa
itu juga masalah penghasilan saja. Jadi, kesejahteraan antara sekretaris desa
yang notabene juga digaji dari pegawai negeri, sementara Kepala Desanya tidak
digaji. Terus, perangkat di bawahnya juga sementara ini terabaikan. Kalau itu
nanti semuanya tercukupi dengan standarnya masing-masing, saya rasa Insya Allah
akan bisa meminimalkan permasalahan di desa itu. Jadi, untuk itu, minta rumusan
tentang UU Desa ini sedemikian rupa sehingga apa yang diharapkan baik oleh
perangkat desa, Kepala Desa maupun masyarakat desa sendiri terutama partisipasi
masyarakt desa untuk membangun desanya akan terwujud”.
Tanggapan
Pada dasarnya pemerintah
dan DPR/DPD sepakat tentang pentingnya peranan Perangkat Desa sebagai pembantu
Kepala Desa. Sebagai pembantu, perangkat desa menjalankan tugas-tugas yang
sifatnya bantuan bagi Kepala Desa. Meskipun berkedudukan sebagai pembantu
Kepala Desa, rasio RUU Desa telah menempatkan mereka dalam posisi penting dalam
pemerintahan desa: ‘perangkat desa menyandang atribut dan simbol-simbol yang
diberikan negara sekaligus menjalankan tugas-tugas negara’ (Lihat Naskah
Akademik RUU Desa). Sebagai perbandingan, Menteri juga disebut ‘membantu’
Presiden. Tetapi mereka bukanlah orang sembarangan. Kedudukan ‘pembantu’
Presiden tak lantas membuat sistem rekrutmen mereka asal-asalan. Pilihan
terhadap mereka harus didasarkan pada meritokrasi.[9] Dalam konteks perangkat desa,
pilihan terhadap perangkat desa memang sangat bergantung kepada Kepala Desa.
Tetapi kewenangan subjektif Kepala Desa itu diatur sedemikian rupa agar yang
terpilih benar-benar mampu menjalankan tugas. Misalnya, dari syarat usia,
perangkat Desa berusia minimal 20 tahun sampai 42 tahun. Syarat semacam ini tak
dikenal untuk Kepala Desa dan anggota BPD. Selain itu, Kepala Desa diwajibkan
berkonsultasi dengan Camat sebelum mengangkat seseorang menjadi perangkat desa.
Camat, sesuai PP No. 43 Tahun 2014, memberikan rekomendasi tertulis atas
kandidat perangkat desa. Pasal 66 huruf d PP ini bahkan menegaskan rekomendasi
tertulis Camat dijadikan dasar oleh Kepala Desa untuk mengangkat perangkat
Desa.
Persoalan yang mengemuka
dalam proses pembahasannya itu pada dasarnya menyangkut tiga hal. Pertama, status Perangkat Desa (Sekretaris Desa dan
perangkat lainnya). UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda telah mewariskan aturan
bahwa Sekretaris Desa adalah PNS. Pasal 202 ayat (3) UU ini menyebutkan Sekdes
diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan. Sebelumnya, di bawah rezim UU No. 22
Tahun 2009, Menteri Dalam Negeri juga pernah mengeluarkan Keputusan No. 8 Tahun
2001 tentang Pedoman Bagi PNS yang Dipilih Menjadi Kepala Desa atau
Dipilih/Diangkat Menjadi Perangkat Desa.
Status PNS Sekretaris Desa ini prakteknya telah
memantik demo selama proses pembahasan RUU Desa. Ribuan Kepala Desa berdemo
menuntut status mereka juga diangkat menjadi PNS. Bahkan kemudian perangkat
lain, misalnya kepala-kepala dusun, mengajukan tuntutan senada. Tuntutan ini
membuat pemerintah menghadapi dilema. Mengangkat seluruh Kepala Desa dan
perangkat Desa menjadi PNS akan sangat berdampak pada anggaran negara.
Rincian Perangkat Desa yang diatur dalam Pasal
48 UU Desa diambil dari Pasal 12 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pasal 12 PP
ini merumuskan:
·
Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa.
·
Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya.
·
Perangkat Desa lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :
- sekretariat desa;
- pelaksana teknis lapangan;
- unsur kewilayahan.
·
Jumlah Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat.
·
Susunan organisasi dan tata
kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa.
Tentu saja ada perubahan mendasar dalam pengangkatan
Sekdes. Dalam PP No. 72/2005 ia diangkat oleh Sekretaris Daerah atas nama
Bupati/Walikota. Kini, Sekdes diangkat oleh Kepala Desa setelah berkonsultasi
dengan camat atas nama Bupati/Walikota. Dari sisi persyaratan, dalam UU Desa,
Sekdes sudah harus terdaftar sebagai penduduk desa; sedangkan dalam PP No.
72/2005 cukup menyatakan bersedia tinggal di desa bersangkutan.
Undang-Undang Desa pada akhirnya menghapus
klausul Sekdes berasal dari PNS. Pasal 49 UU Desa telah menyebutkan bahwa
perangkat desa diangkat oleh Kepala Desa. Dalam proses pengangkatan itu kepala
harus mempertimbangkan syarat-syarat yang sudah ditentikan dan ia harus
berkonsultasi dengan camat. Misalnya, untuk mampu membantu tugas-tugas Kepala
Desa, usia orang yang boleh diangkat menjadi PNS dibatasi antara 20 hingga 42
tahun. Persyaratan model usia minimal dan maksimal ini tak dikenal dalam
pencalonan Kepala Desa dan anggota BPD.
Meskipun UU Desa menghapuskan klausul PNS, PP
No. 43 Tahun 2014 tetap membuka peluang PNS masuk sebagai perangkat Desa. Pasal
66 PP ini menyebutkan:
·
PNS kabupaten/kota setempat
yang akan diangkat menjadi perangkat desa harus mendapatkan izin tertulis dari
pejabat pembina kepegawaian;
·
Kalau terpilih dan diangkat
menjadi perangkat desa yang bersangkutan dibebaskan sementara dari jabatannya
selama menjadi perangkat desa tanpa kehilangan hak sebagai PNS.
Aturan ini sekilas tentu saja sangat
menguntungkan PNS yang menjadi perangkat desa karena pindah tugas tak membuat
hak-haknya sebagai PNS hilang. Persyaratan untuk menjadi perangkat desa
sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) UU Desa tidak secara eksplisit
memuat status PNS sebagai hambatan persyaratan. Jika pemerintah kabupaten/kota
membuat aturan yang mengizinkan PNS menjadi perangkat Desa sepanjang memenuhi
syarat lain: (i) berpendidikan minimal SMU; (ii) berusia 20-42 tahun; dan (iii)
terdaftar sebagai penduduk desa, maka kemungkinan bagi PNS untuk menjadi
perangkat Desa tetap ada. Apalagi jika Kepala Desa menggunakan argumentasi
bahwa tenaga PNS dimaksud sangat dibutuhkan oleh warga desanya.
Hal kedua yang penting dicatat adalah larangan
perangkat Desa menjadi pengurus partai politik dan terlibat dalam kampanye.
Larangan ini juga berlaku bagi Kepala Desa dan anggota BPD. Argumentasi yang
dibangun pemerintah adalah menjaga netralitas. Larangan-larangan lain, di luar
menjadi pengurus partai politik sebenarnya diatur dalam sejumlah
perundang-undangan dan menjadi prinsip memegang jabatan. Pasal 41 ayat (2) UU
No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden melarang
pelaksana kampanye mengikutsertakan Kepala Desa dan perangkat desa berkampanye.
Aturan senada tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Larangan mengikuti kampanye ini dapat dimaklumi karena selama
ini Kepala Desa dan perangkatnya dituding sebagai salah satu aktor yang menjadi
broker suara dalam pemilihan umum, atau menjadi salah satu mesin birokrasi
dalam pilkada[10]
Ketiga adalah penghasilan
dan hak-hak lain perangkat Desa. Seperti halnya Kepala Desa, perangkat Desa
juga mendapatkan ganjaran atas pelaksanaan tugas-tugasnya, yang berupa
penghasilan tetap, tunjangan, jaminan kesehatan dan penerimaan lainnya yang
sah. Pengaturan mengenai penghasilan perangkat desa juga ada dalam PP No. 72
Tahun 2005. Pasal 27 PP ini menyebutkan: (i) Kepala Desa dan Perangkat Desa
diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai
dengan kemampuan keuangan Desa; (ii) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan
lainnya yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa ditetapkan setiap tahun
dalam APB Desa; dan Penghasilan tetap tersebut paling sedikit sama dengan Upah
Minimum Regional Kabupaten/Kota.
Khusus mengenai jaminan kesehatan, UU No. 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), menyebutkan jaminan
kesehatan merupakan salah satu program jaminan sosial, selain jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Pasal 19 UU ini menegaskan jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi social dan prinsip ekuitas. Jaminan kesehatan
bertujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
·
Keterlibatan Kepala Desa dan Perangkat
Desa dalam Politik Praktis.
Keterlibatan aparat pemerintahan desa dalam
politik praktis sudah menjadi rahasia umum. Meskipun perangkat peraturan
perundang-undangan secara eksplisit melarang, selama ini Kepala Desa dan
perangkat Desa adalah pendulang suara potensial bagi partai tertentu.
·
Penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa
Dalam konstruksi RUU Desa, ukuran penghasilan
Kepala Desa dan perangkat desa adalah UMR. Namun ukuran ini berpotensi
menimbulkan perbedaan dan ketidakadilan mengingat UMR di tiap kabupaten/kota
berbeda-beda. Dalam proses pembahasan, perbedaan gaji Kepala Desa dan perangkat
Desa juga dikaji. Selama ini, gaji tetap sekdes (PNS) tak sebanding dengan
penghasilan tidak tetap Kepala Desa dan perangkat desa lainnya, sehingga
menimbulkan kecemburuan.
Walhasil, dalam naskah UU Desa, parameter UMR
tersebut dihilangkan. Penghasilan tetap Kepala Desa juga dibuat lebih tinggi
dari sekdes. Setidaknya itu tergambar dari PP No. 43 Tahun 2014 yang mengatur
Alokasi Dana Desa (ADD) untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa.
Besaran persisnya, oleh Pasal 81 ayat (4) PP No 43 Tahun 2014, masih diserahkan
kepada Bupati/Walikota dan ditetapkan melalui peraturan Bupati/Walikota.
Sedangkan perangkat desa ditetapkan dengan ketentuan:
·
Sekretaris desa paling
sedikit 70 persen dari penghasilan tetap Kepala Desa perbulan
·
Perangkat desa selain
sekretaris desa paling sedikit 50 persen dari penghasilan tetap Kepala Desa per
bulan.
Jika dibaca dari rumusan UU Desa, penghasilan
pemerintah desa adalah seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel: Penghasilan Perangkat Desa dan Sumbernya
Jenis
|
Sumber
|
Keterangan
|
Penghasilan tetap
|
Dana perimbangan dalam APBN yang diterima
kabupaten/kota
|
Dibayar setiap bulan. Besaran dana perimbangannya
harus ditetapkan dalam APBD kabupaten/kota
|
Tunjangan
|
APB Desa
|
Ditetapkan lewat Perbup/Perwali
|
Jaminan kesehatan
|
BPJS
|
UU No. 40 Tahun 2004 tentang BPJS, Perpres No. 111
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
|
Penerimaan lainnya yang sah
|
Diatur lebih lanjut dalam PP.
|
PP No. 43 Tahun 2014 ternyata hanya mengatur
ukuran penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat desa. Bagaimana dengan
tunjangan, jaminan kesehatan, dan penerimaan lain yang sah? Apa saja jenis
tunjangan yang diperoleh? Apa saja yang masuk kategori penerimaan lain yang
sah, apakah termasuk keuntungan BUM Desa atau bagian tertentu dari hibah?
Sayangnya, PP No. 43 Tahun 2014 hanya menyebutkan (i) tunjangan dan penerimaan
lain yang sah dapat bersumber dari APB Desa dan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan; dan (ii) besaran tunjangan dan penerimaan lain yang sah
ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota. Lantas, siapa yang menentukan
penerimaan lain itu sah? Selain itu, UU secara eksplisit menyebut tunjangan
Kepala Desa dan perangkat desa berasal dari ABP Des, tetapi kemudian PP
menyebut ‘dapat’ bersumber dari APB Des. Bukankah ini berarti juga PP
memungkinkan perangkat desa mendapatkan tunjangan yang bersumber selain APB
Desa? Bagaimana pula PNS yang diangkat menjadi perangkat desa, apakah ia tetap
punya hak penuh penghasilan yang diatur UU Desa tanpa melepaskan sama sekali
hak-haknya sebagai PNS sebagaimana disebut Pasal 67 ayat (2) PP No. 43 Tahun
2014?
Kepastian penghasilan perangkat desa
menghidupkan harapan akan semakin meningkatnya pelayanan mereka kepada
masyarakat. Harapan itu disampaikan Miryam S. Haryani (Fraksi Partai Hanura)
dalam Pandangan Mini Fraksi 10 Desember 2013: “Perangkat Desa lebih memahami
posisinya sebagai pengayom dan penggerak dalam struktur organisasi yang lebih
mengutamakan kepentingan masyarakat dalam perspektif melayani”.
Tetapi apakah ada jaminan kepastian penghasilan itu akan meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab lewat praktik.
Tidak ada komentar